Mata
Kuliah : Teologi
Kontemporer
Dosen
Pengampu : Tambok Tua Manullang,
M.Th
Tugas : Makalah Biografi
Rudolph Bultmann dan Pengajarannya
Nama : Boy Rio Sinaga
Semester : VIII (Delapan)
BAB I
PENDAHULUAN
Perbedaan pandangan
dunia dalam PB dan pandangan dunia dari orang modern bertumpu pada suatu dasar
yang berbeda tidak dapat dipungkiri. Dan dalam rangka itulah Rudolph Bultman
mengusulkan demitologisasi, suatu metode untuk mempertemukan orang modern
dengan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Maksudnya, metode ini berusaha agar
orang modern dapat percaya dan mengerti berita Krstiani dalam perspektif
pemikiran zaman modern. Namun apakah metode yang ditawarkan Bultmann ini dapat
menjawab permasalahan orang modern berkaitan dengan masalah tentang mite atau
justru menimbulkan persoalan-persoalan lain? Apakah demitologisasi Bultmann ini
tidak berarti lari dari kenyataan dan menyuruh agar orang modern kembali kepada
alam berpikir mitologi? Selain itu, jika pengertian demitologisasi adalah
mengupas atau men-demitologi-kan mitolgi-mitologi yang terdapat dalam PB dan setelah melakukan hal di atas apakah ini
tidak berarti membuang mite-mite tersebut? Dan kalau pengertiannya dibuang
bagaimana dampaknya? Kalau tidak dibuang bagaimana dampaknya? Sebab kenyataan yang ada adalah cara berpikir
PB dan orang modern bertentangan. Selain itu kita dapat bertanya apakah benar
orang-orang modern tidak dapat menerima laporan-laporan yang bersifat
mitologis.
A.
Sekilas Tentang Sejarah Hidup Rudolph Bultman
Rudolf Karl Bultmann lahir
di Wiefelstede, Oldenberg, Jerman, pada tanggal 20 Agustus 1884, sebagai anak
pertama dari keluarga dengan latar belakang religius yang kuat, dari pasangan
pendeta Evangelist-Lutheran. Ayahnya bernama Arthur Bultmann dan ibunya Helena.
Kota Wiefelstede merupakan kenangan termesra dalam hidupnya, di mana ia
menghabiskan masa kecilnya yang manis di situ, sebelum kemudian melanjutkan di
sekolah menengah (1892-1895), dan Gymnasium Oldenberg (1895-1903). Di sekolah
yang disebut terakhir, yaitu Gymnasium Oldenberg
itulah ia bertemu dan berteman dengan Karl Jaspers, yang membawa perubahan kuat
pada jiwanya sehingga ia terpikat pada disiplin studi agama, bahasa dan sejarah
kesusastraan Yunani. Studi Teologi dan Filsafat dijalaninya di Universitas
Tubingen, Berlin, dan di Marburg. Gelar doktoral Bultmann diperoleh tahun 1912
saat ia berusia 28 tahun dengan disertasi berjudul “Die Exegese des
Theodor von Mopsuestia”. Karir akademisnya dimulai tahun 1916 ketika ia
diangkat menjadi guru besar luar biasa di Brelau dan di Glessen. Bultmann
menikah dan menjadi ayah dari tiga orang putri. Dia meninggal pada 30 Juli 1976
di Marburg (sekarang bagian barat) Jerman.[1] Mulai
tahun 1921, ia menjadi guru besar di Marburg dengan spesialisasi bidang
Perjanjian Baru dan sejarah Kristen kuno. Sekitar tahun 1924-1925, ia
bertemu dengan Paul Tillich dan Martin Heidegger yang sedang menulis buku
monumentalnya “Sein und Zeit”. Pertemuan dengan Tillich dan Heidegger inilah
yang kelak memberi pengaruh kuat terhadap alur pemikiran dan teologinya[2]
Bultmann adalah tokoh yang
paling berpengaruh dalam pendekatan studi ini:
"Tujuan dari kritik bentuk adalah untuk
menentukan bentuk asli dari sepotong naratif, suatu ucapan Tuhan, atau suatu
perumpamaan. Dalam prosesnya kita belajar untuk membedakan tambahan-tambahan
dan bentuk-bentuk sekunder, dan semua ini pada gilirannya membawa kita kepada
bentuk-bentuk penting bagi sejarah dari tradisinya."
Sebagian sarjana mengkritik Bultmann dan para
kritik lainnya karena skeptisisme yang berlebih-lebihan mengenai keandalan
historis kisah-kisah Injil. Dampak penuh Bultmann baru dirasakan ketika bukunya
Kerygma and Mythos ("Berita Injil dan Mitos") terbit dalam
terjemahan bahasa Inggris pada 1948.[3]
Tulisan-Tulisan Bultmann
Bultmann menulis beberapa
karya teologi yang terkenal, seperti "Theology of
the New Testament" (1951), yang berisi
tentang pernyataan lengkap tafsiran alkitabiah Bultmann. Di tulisan
selanjutnya, Bultmann meneruskan kritik analisanya tentang sumber-sumber
Perjanjian Baru. "The History of the Synoptic Tradition" (1968)
merupakan ujian yang berpengaruh terhadap susunan Injil Matius, Markus, dan
Lukas. "The Gospel of John: A Commentary" (1971) dianggap sebagai
tafsiran baru yang penting atas kesulitan keempat Injil. Salah satu karya
terakhir Bultmann, "Jesus and The Word" (1975), adalah sebuah
penyelidikan akan pengajaran Yesus yang memberikan kepada pembaca sekilas teori
teologi tentang sejarah dan penafsiran Alkitab.
Literatur tentang karya
Bultmann juga berkembang pesat sejak akhir Perang Dunia II. Karya Charles
Kegley, ed., "The Theology of Rudolf Bultmann" (1966), berisi uraian
singkat riwayat hidup yang ditulis oleh Bultmann, esai penting tentang tafsiran,
dan kritik tentang ide-ide besarnya, yang disertai dengan jawaban Bultmann.
Karya ini juga berisi bibliografi lengkap tentang karyanya hingga tahun 1965.
Karya André Malet, "The Thought of Rudolf Bultmann" (diterjemahkan
tahun 1971), sangat komprehensif dan mudah
dibaca.
Selama rezim Nazi, Bultmann
merupakan salah satu anggota yang vokal dalam "Confessing Church"
yang menolak untuk mengikuti kependetaan "Kristen Jerman" dalam
memberi dukungan kepada pengeluaran kebijakan non-Aryan Hitler. Sepanjang
kariernya, Bultmann terus berkhotbah dan mengajar.
BAB II
PEMIKIRAN
DAN PENGAJARAN RUDOLPH BULTMANN
A. Pemikiran
Teologi Rudolf Bultman
Pengaruh Pendekatan Sejarah Dan Eksistensial
Dalam Demitologisasi Bultmann
Ahli-ahli
sejarah modern selalu berdebat tentang pendekatan objektif pada sejarah, maka
setiap ahli teologi mau tidak mau harus juga bergumul dengan tantangan ini.
Seorang ahli sejarah kritis tak bakal menerima begitu saja uraian sejarah yang
ditulis orang, tetapi akan melakukan penyelidikan sendiri sampai dirinya
menjadi bagian dari sejarah itu. Bagaimana dengan Alkitab? Alkitab tidak
bisa semata-mata diterima sebagai sejarah, karena “percaya” (keyakinan)
akan kebenaran isinya ikut bermain dalam pra-anggapan penafsir Alkitab. Sejarah
itu memang lebih dari apa yang terdapat dalam pikiran ahli sejarah. Tugas ahli
sejarah ialah menyelidiki fakta-fakta, bukan malahan menciptakannya.
Sebaliknya, tata bangun seorang teolog sangat tergantung pada anggapannya
mengenai ajaran Yesus yang tercatat dalam Alkitab. Para rasul memang bukanlah
pengamat sejarah yang objektif, tetapi mereka meyakini apa-apa yang mereka
tulis adalah fakta-fakta yang terpercaya
Pandangan khusus di atas merupakan pandangan yang cocok bagi
filsafat eksistensialis. Jika ahli sejarah modern menghadapi naskahnya dengan
keyakinan bahwa ia harus menjadi bagian dari sejarah yang ia pelajari, maka
sikap demikian itu cocok sekali dengan tuntutan eksistensialis dalam memahami
Alkitab yang sedang digelutinya. Menurut Bultmann, seorang ahli sejarah
menghadapi bahan penyelidikan dengan cara yang berbeda dengan tata cara
ilmuwan
Ia berasumsi bahwa ilmuwan tidak melibatkan anggapan
pribadinya, sedangkan ahli sejarah bertindak sebaliknya. Tetapi pandangan
ini tentu saja dapat disangkal karena seorang ilmuwan tidak dapat menghadapi
bahan-bahannya tanpa pra-anggapan. Jika pra-anggapannya keliru, maka
penyelidikannya tidak berhasil dan pra-anggapannya menjadi runtuh. Tetapi
yang pasti, tak seorang ilmuwan pun yang belajar dengan akal budi yang kosong.
Dalam penjelasannya mengenai pendekatan tentang pandangan eksistensialisnya
untuk menggarap bidang sejarah, Bultmann berkata tentang berdialog dengan
sejarah. Ia mau mengatakan bahwa ketika ahli sejarah menekuni bacaan
tentang Yesus, maka ia mencapai “keberadaan” dengan menghadapi riwayat itu
sampai menjadi bagian dari dirinya sendiri. Dialog dengan sejarah hanya mungkin
terjadi kalau terjadi pemahaman penuh tentang latar belakang. Akan tetapi tak
ada ahli sejarah yang masa kini yang dapat menembus keterangan psikologis
untuk memahami latar belakang abad pertama itu. Bultmann mengatakan itu sebagai
hal yang mustahil, dan ini berarti bahwa dialog dengan sejarah berarti
“subyektif”
Lagi pula apa yang dapat diketahui tentang Yesus, selain hanya
warisan dari sejarah alam pikiran Kristen mula-mula yang sampai pada
manusia sekarang, bukan sejarah tentang peristiwa yang benar-benar terjadi,
dijalani dan ditempuh
Bahkan menurut Bultmann, ungkapan Yesus yang
benar-benar asli dalam Perjanjian Baru tidak lebih dari empat puluh buah.
Bagaimana cara menentukan isi yang asli dan tidak asli? Menurut Bultmann
jawabannya terletak pada apa yang disebutnya sebagai “hukum tradisi”.
Pra-anggapannya adalah bahwa ada hukum tradisi itu, artinya bahwa setiap kali
unsur tardisi diturunkan, polanya selalu sama. Bagi Bultmann, ini berarti bahwa
ciri perkembangan tradisi yang paling khas adalah unsur peminjaman. Asumsi ini
yang membuat Bultmann mengeluarkan “hukum ketidaksamaan”-nya, yang merumuskan
bahwa jika sesuatu dalam Perjanjian Baru ditemukan padanannya dengan
kepustakaan Kristen atau Yahudi pada waktu itu, maka isi Perjanjian Baru
tersebut pasti meminjam dari sumber itu.
Pemikiran Teologinya
Pandangannya tentang Entmythologisierung (Demythologizing atau Demitologisasi).
Kata entmythologisierung berasal dari bahasa Jerman, yang berarti bahwa
mitologi (kumpulan mitos-mitos) perlu dihilangkan. Mitos adalah suatu cerita
kuno, yang di dalamnya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tentang
hal-hal yang pokok tentang hidup dan mati, tentang Allah dan manusia dan
lain-lain dipikirkan dan diteruskan dalam bentuk cerita. Perjanjian Baru pada
pokoknya terdiri dari cerita-cerita semacam itu. Pusat dari konsep
demitologisasi adalah pendirian Bultmann yang menemukan dua hal di dalam
Perjanjian Baru, yaitu: 1) Injil Kristen, dan 2) pandangan orang pada
abad pertama yang bercirikan mitos. Hakekat Injil, oleh Bultmann disebut dengan
kerugma (Yunani = isi yang dikhotbahkan), merupakan inti yang tidak dapat
dipersempit lagi. Orang jaman modern ini harus dihadapkan dengan inti tersebut
dan harus mempercayainya. Namun orang modern tidak dapat menerima kerangka yang
bersifat mitos yang membungkus hakekat Injil. Oleh karena itu teologia harus
berusaha untuk melepaskan berita kerugma dari kerangka yang bersifat mitos.
Menurutnya kerangka yang bersifat mitos tidak selalu berkaitan dengan
Kekristenan
Bultmann adalah seorang teolog yang sangat serius memikirkan
bagaimana Injil yang dari zaman prailmiah dapat diberitakan kepada manusia
modern. Ia merasa terpanggil untuk menemukan suatu cara baru agar Injil boleh
menyapa dan membuat manusia modern mengambil keputusan
pribadi terhadap berita Injil.[4]
Pemikiran inovatif Bultmann ini tentu saja berkatian erat
dengan Metode Kritik Bentuk-nya terhadap Perjanjian Baru. Melalui metode
itu Bultmann mencoba menelusuri perkembangan lebih awal dari kisah-kisah Injil
dalam penurunannya dan fungsinya dalam gereja purba. Ia mau menentukan
kehistorisan kisah-kisah itu. Lalu ia sampai pada kesimpulan bahwa kebanyakan
ucapan Yesus tidak berasal dari Yesus sendiri tetapi hasil redaksi dari jemaat
purba[5]
Selanjutnya, Bultmann juga tidak mengakui Alkitab sebagai
firman Allah yang telah diwahyukan. Menurutnya, meskipun Allah berbicara kepada
manusia melalui Alkitab, namun Alkitab itu merupakan hasil pengaruh sejarah
dari agama kuno dan harus diadili seperti literatur religius kuno lainnya.
Prinsip Kritik Bentuk Bultmann ialah ‘merombak’ Injil dan kemudian
mencoba menemukan bentuk asli dari Inji itu, lalu sedapat mungkin disusun
kembali.[6]
Dari situ Bultmann mengembangkan suatu pemikiran baru dalam
dunia teologi yang dikemas dengan istilah demitologisasi. Menurutnya,
demitologisasi adalah metode penafsiran yang mencoba menyingkapkan rahasia di
belakang konsep-konsep mitos yang dipakai dalam Perjanjian
Baru .[7]
Bultmann mengatakan bahwa Alkitab penuh dengan mitos karena itulah
diperlukan suatu metode penafsiran untuk menyingkapkan rahasia di belakang
konsep mitos itu. Mitos yang dimaksud adalah pemakaian bahasa, simbol dan
gambaran yang ada di dunia ini untuk menjelaskan tentang keberadaan dan perbuatan-perbuatan Allah.[8]
Menurut Bultmann, mitos
merupakan cerita yang tidak membedakan fakta
dari yang bukan fakta dalam isinya, dan yang berasal dari suatu jaman
pra-ilmiah. Tujuan mitos adalah untuk menyatakan pengertian manusia tentang
dirinya sendiri, bukan untuk menyajikan gambaran obyektif tentang dunia. Mitos
menggunakan perumpamaan dan istilah-istilah yang diambil dari dunia ini untuk
menyatakan keyakinan-keyakinan tentang pengertian manusia akan dirinya sendiri.[9] Menururt Bultmann, mitos yang ada
dalam Alkitab bersumber dari pola pikir orang Yahudi pada abad pertama yang
melihat dunia ini sebagai sistem yang terbuka terhadap Allah dan kuasa-kuasa
supranatural. Alam semesta dinyatakan dalam tingkat tiga, yakni surga, dunia
dan neraka. Ini merupakan pandangan semesta yang ada dalam Alkitab. Sifat dunia
yang mitologis ini diterapkan juga oleh jemaat mula-mula dalam Perjanjian Baru
khususnya mengenai kisah Yesus..[10]
Menurut Bultmann perubahan dunia
yang bersifat mitos tersebut juga telah digunakan untuk merubah Yesus. Pribadi
Yesus yang ada di dalam sejarah diubah menjadi suatu mitos dalam kekristenan
yang mula-mula. Oleh karena itu Bultman menyatakan bahwa pengenalan historis
tentang manusia Yesus tidak relevan lagi untuk iman Kristen. Mitos inilah yang
dihadapkan pada orang Kristen dalam gambaran Perjanjian Baru tentang Yesus.
Fakta-fakta sejarah tentang Yesus telah diubah menjadi Rudolf Bultmann:
Demitologisasi dalam Perjanjian Baru (M. Darojat Ariyanto) 181 cerita mitos
tentang suatu oknum ilahi yang berpraeksistensi yang berinkarnasi dan dengan
darah-Nya menebus dosa-dosa manusia, bangkit dari kematian, naik ke
surga, dan menurut kepercayaan mereka ia akan segera kembali untuk menghakimi
dunia dan memulai jaman baru.
Cerita utama ini juga telah
dibumbui dengan cerita-cerita mukjizat, cerita-cerita tentang suara dari surga,
kemenangan-kemenangan atas setan dan lain-lainnya. Menurut Bultmann semua
penyajian tentang Yesus dalam Perjanjian Baru bukanlah sejarah melainkan hanya
mitos, yaitu pemikiran dari orang-orang yang menciptakan mitos-mitos tersebut
untuk mengerti diri sendiri dengan lebih baik. Itu semua merupakan mitos-mitos
yang tidak cocok lagi bagi manusia abad ke-20, yang percaya kepada rumah sakit
dan bukan mukjizat, pinisilin dan bukan doa. Untuk mengkomunikasikan Injil
secara efektif kepada manusia modern, kita harus mengupas mitos dari Perjanjian
Baru dan mencoba untuk menyingkap tujuan mula-mula di balik mitos tersebut.
Proses penyingkapan ini disebut demitologisasi.
Proses ini, menurut
Bultman, bukan berarti menyangkal mitologinya. Demitologisasi ini berarti
penafsiran secara eksistensial, yaitu menurut pengertian manusia terhadap
keberadaannya sendiri, dan dengan istilah-istilah yang dapat dipahami oleh
orang modern sendiri. Bultman melakukan proses ini dengan menggunakan
konsep-konsep eksistensialis Jerman, Martin Heidegger. Contohnya, yang
disebut mitos mengenai kelahiran Kristus dari anak dara dikatakan sebagai suatu
usaha untuk menjelaskan arti Yesus bagi orang beriman. Mereka mengatakan bahwa
Kristus datang kepada manusia sebagai tindakan Allah. Salib Kristus tidak
mempunyai arti yang menunjukkan Yesus menanggung dosa bagi orang lain. Hal itu
hanya mempunyai pengertian sebagai suatu symbol dari manusia yang mengambil
suatu hidup yang baru, yaitu menyerahkan semua rasa aman duniawi untuk
mendapatkan suatu hidup baru yang bergantung pada yang transenden.
Bultman pada dasarnya
menyatakan bahwa gambaran dasar dari mitologi Perjanjian Baru berpusat pada dua
macam pengertian diri. Pertama, hidup di luar iman, dan yang lain hidup
di dalam iman. Istilah-istilah dosa, daging, ketakutan dan kematian merupakan
penjelasan-penjelasan mitologis tentang hidup di luar man. Dalam
istilah-istilah eksistensial, hal itu berarti hidup di dalam keterikatan pada
realitas yang nyata, yang nampak dan akan binasa. Sebaliknya, hidup di dalam
iman berarti meninggalkan ketergantungan pada realitas yang dapat dilihat dan
nyata. Ini berarti melepaskan diri dari masa lalu dan membuka diri pada masa
depan Allah. Menurut Bultmann, ini merupakan satu-satunya arti eskatologi yang
sebenarnya. Kehidupan eskatologis yang benar dikatakannya sebagai hidup dalam
pembaharuan yang terus menerus elalui keputusan dan ketaatan Dalam konsep
demitologisasi ini Bultmann membantu mengingatkan kaum Kristen tentang
pentingnya memahami orang modern, pendengar khotbahnya. Ia juga mengingatkan
bahwa kepentingan orang Kristen tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga
menerapkannya dengan tepat dan teliti pada pendengar.[11]
Menurutnya lagi, mitos ini akan sulit diterapkan dalam dunia
modern. Setidaknya ada dua alasan yang membuat orang yang hidup di dunia modern
tidak bisa menerima mitos, yaitu pengetahuan ilmiah dan pandangan manusia
modern tentang dirinya. Mengenai dirinya, manusia modern memandang tidak lagi
sebagai pribadi yang terbuka terhadap inteversi kekuasaan supranatural. Manusia
saat ini melihat dirinya sebagai makhluk yang mampu berdiri sendiri. Dalam
kemandirannya itu manusia modern tentu akan sulit percaya mitos tentang
kekuasaan supranatural, maut, penebusan, kebangkitan dan lain sebagainya.
Semuanya itu tidak dapat dimengerti dalam konterks kemajuan pengetahuan ilmiah
modern.[12]
Bultmann melanjutkan; kendati Alkitab dipenuhi dengan mitos
tetapi semuanya itu tidak boleh dibuang begitu saja. Sebab jika hal itu
dilakukan berarti sama saja dengan membuang semua halaman Alkitab yang penuh
mitos.[13]
Untuk menyelesaikan dilema ini maka
Bultmann mengusulkan jalan keluarnya lewat demitologisasi. Demitologisasi
bertugas untuk mengupas mitos dari Perjanjian Baru dan mencoba menyingkapkan
inti berita yang disebut dengan istilah kerygma di balik mitos tersebut
sehingga Injil bisa dikomunikasikan secara efektif kepada manusia modern.[14]
Untuk bisa menemukan kerygma, Bultmann menggunakan metode
penafsiran eksistensialisme atas Alkitab. Keyakinan bahwa Perjanjian Baru
ditulis berdasarkan literatur Yahudi dan mitos yang tidak relevan lagi dengan
manusia modern membuat Bultmann menafsirkan Alkitab secara eksistensial.
Penafsiran ini bergantung pada manusia dimana pengalaman pribadilah yang
mengontrol dan menentukan arah dan berita Alkitab, bukan lagi Roh Kudus. Isi
Alkitab cenderung dicocokan dengan kondisi manusia.
B. Kerygma dalam sejarah gereja mula-mula
Kata yang paling banyak digunakan dalam PB untuk
"berkhotbah" ialah kcrussin (sekitar 60 kali), yang berarti
memproklamasikan berita (sebagai seorang pembawa kabar). Proklamasi gereja
(kgrygma) adalah proklamasi publik tentang "Kabar Baik" (yaitu Injil)
kepada dunia non Kristen. Makna di balik pengertian tersebut bisa tindakan
proklamasi atau isi proklamasi tersebut.
Bultmann menyoroti tindakan proklamasi. Dalam pandangan
Bultmann, "pemikiran teologis" (theological thinking) PB atau teologi
PB dimulai dengan kerugma gereja mula-mula dan bukan sebelumnya -- pada masa
Yesus hidup di dunia. Bagi gereja mula-mula, kerugma sebagai tindakan
pemberitaan berarti kerugma itu memproklamasikan Yesus Kristus - yaitu Yesus
Kristus yang tersalib dan bangkit - sebagai tindakan penyelamatan Allah yang
eskatologis. Kristus yang seperti inilah yang pertama-tama diberitakan dalam
kerugma gereja paling dini, bukan dalam pemberitaan dari Yesus historis.
Yesus historis, sebagaimana terungkap dalam Injil Sinoptik
adalah seorang guru dan nabi yang mengabarkan "pemerintahan Allah"
(the reign of God) yang eskatologis. Yesus menyampaikan warta ini, di kemudian
hari gereja mula-mula meneruskan warta tersebut. Tetapi, Yesus lebih dari
sekadar guru dan nabi bagi gereja mula-mula: Ia juga adalah Mesias, sehingga
gereja memproklamasikan Dia. Pada masa hidup-Nya, Yesus dipandang sebagai
sebagai Pembawa Berita keselamatan; pada masa setelah "kenaikan-Nya",
Ia dipandang sebagai pokok pemberitaan. Bultmann menyatakan, "He who
formerly had been the bearer of the message, was drown into it and became its
essential content. The proclaimer became the proclaimed." Tetapi, "in
what sense?" Jawaban Bultmann jelas, sang pemberita menjadi inti berita
dalam konteks pemberitaan gereja mula-mula.
Ketika gereja memproklamasikan Kristus sebagai Mesias, hal
itu terkait erat dengan jabatan-Nya sebagai Mesias yang akan datang, yaitu
sebagai Anak Manusia. Gereja mula-mula menantikan kedatangan-Nya sebagai
Mesias, bukan kembaliNya sebagai Mesias. Kedatangan Mesias ini, menurut
Bultmann, menggenapi konsep eskatologi di atas. Maksudnya, Allah telah
membangkitkan Yesus dari Nasaret - guru dan nabi itu yang mati karena
disalibkan oleh pemerintah Romawi, dan menjadikan Dia Mesias, meninggikanNya
menjadi Anak Manusia yang membawa keselamatan sebagai tanda pemerintahan Allah.
Hal ini berarti aktifitas Kristus di dunia pada masa lampau tidak dipandang
sebagai berita mesianik.
Jadi, menurut Bultmann, kerugma dalam PB adalah tindakan
proklamasi eskatologis yang telah dimulai oleh Yesus dengan pemberitaan tentang
Anak Manusia dan diteruskan gereja mula-mula dengan memberitakan Yesus Kristus
yang dibangkitkan sebagai penggenapan pengharapan tersebut. Semasa hidup-Nya,
Yesus hanya pemberita pemerintahan Allah yang eskatologis. Tetapi bagi gereja
mula-mula, kehadiran Yesus dan kisah hidup-Nya selanjutnya (kematian sampai
kenaikan-Nya) dihayati sebagai kegenapan berita yang disampaikan Yesus. Di
dalam Kristus, Anak Manusia itu, pemerintahan Allah dinyatakan. Konsep inilah
yang sering disebut sebagai "peristiwa Kristus" (Christ event).
Pandangan Bultmann tentang teologi ini terkenal dengan teologi
kerygma (teologi Firman). Karya wahyu ilahi menjumpai kita di dalam
kerygma, serta membuka mata hati kita terhadap diri kita sehingga kita memiliki
perspektif baru dalam memandang diri sendiri.[15]
Inilah “eksistensialis” kongkret. Dengan demikian, interpretasi eksistensial
merupakan jalan untuk mewujudkan kebenaran isi iman (percaya/kredo) Kristiani,
yaitu dengan menunjukkan hubungan antara
kebenaran itu dengan realitas dan kegunaannya bagi eksistensi.
Menurut Bultmann, sasaran teologi adalah Tuhan Allah. Tetapi
orang tidak dapat secara langsung berbicara denganNya. Segala pembicaraan
tentang Allah harus dilakukan dengan cara tidak langsung, yaitu dalam
ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan situasi eksistensial. Maka
pernyataan-pernyataan teologis itu benar dan berlaku jika pernyatan itu
bersifat eksistensial. Manusia menjadi saluran kebenaran ilahi. Orang hanya
dapat berbicara dengan Allah jika berbicara kepada dirinay sendiri tentang
eksistensinya.
Meskipun demikian, Bultmann memegang teguh pada sifat
transendensi Allah. Artinya, iman harus diarahkan ke luar iman. Iman timbul
karena suatu pertemuan dengan kejadian historis, yaitu kejadian yang terjadi
pada diri Kristus (Christ event). Dalam iman, eksistensi orang
digetarkan karena pertemuannya dengan Allah dalam pemberitaan. Karena itulah
pandangan orang menjadi berubah. Perubahan itu setiap saat harus direalisasikan
lagi dalam pertemuan dengan Allah. Iman hanya berkaitan dengan Kerygma.[16]
Maka iman tidak berkaitan dengan keyakinan apakah yang historis itu dapat
dipercaya atau tidak.[17]
C. Keyakinan Ortodoksi: Ineransi
alkitab
Alkitab yang merupakan buku tertua di dunia diyakini oleh
setidaknya kaum ortodksi Kristen bukan saja sebagai literatur agma kuno tetapi
lebih dari itu Alkitab diyakini sebagai firman Allah. Alkitab yang adalah
firman Allah tidak muncul begitu saja tanpa penyebab. Keberadaan Alkitab
disebakan adanya pengilhaman Roh Allah yang menguasai dan mendorong
hamba-hamba-Nya untuk menulis Alkitab. Dan oleh karena Alkitab diilhamkan oleh
Roh Allah maka dengan sendirinya Alkitab memiliki wibawa ilahi.[18]
Sebagai kitab yang diilhami Roh Allah dan yang memiliki
wibawa ilahi, kaum ortodoksi meyakini pula bahwa Alkitab sempurna, tidak
mengandung kesalahan atau yang disebut dengan istilah ineransi. Yang dimaksud
dengan ineransi di sini adalah keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Allah yang
tertulis dan tanpa salah pada naskah aslinya. Hal ini berarti Alkitab harus
dimengerti dari sudut latar belakang kebudayaan dan standar komunikasi yang ada
pada waktu penulisannya. Bersama dengan itu ada juga praanggapan bahwa Allah
yang benar mampu mengkomunikasikan firman-Nya dengan benar, tanpa salah.[19]
Alkitab yang ineransi di sini adalah kanon Alkitab yang terdiri dari 66 kitab
dan diakui oleh konsili Kristen di kota Karthago pada tahun 397.[20]
Dalam proses penulisan Alkitab yang diakui ineransi ada
terdapat unsur manusiawi. Ketika menulis Alkitab, para penulis menulis dalam
kesadaran penuh sebagai manusia. Bahkan bakat, pendidikan dan budaya para
penulis terlihat jelas dalam tulisan masing-masing.[21]
Adanya unsur manusiawi ini tidak mengurangi keyakinan akan ineransi Alkitab
karena Roh Allah yang menuntun dan mengawasi para penulis sehingga mereka dapat
menulis sesuai kehendak-Nya tanpa penyimpangan sedikit pun.[22]
Diakui bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang
terkesan melemahkan akan keyakinan ineransi. Bagian-bagian tersebut adalah
seperti yang tidak sesuai dengan ilmu modern, pemaparan alam yang fenomenal dan
penggunaan gaya bahasa yang hiperbola.[23]
Bagian-bagian yang dilematis ini bisa diluruskan dengan memahami bahwa ineransi
Alkitab sebagi ketidakbersalahan dalam megatakan kebenaran.[24]
Kebenaran tersebut adalah sesuatu yang berkoresponden, dengan fakta yang terbuka
untuk diteliti dan diverifikasi ketepatannya.[25]
BAB III
PENUTUP
Persoalan yang muncul adalah: Apakah Bultmann telah berhasil
menyeberangkan berita Alkitab tanpa ada yang tercecer? Pada Bultmann sebenarnya
terjadi “penyempitan” karena hanya menghubungkan firman hanya dari segi
antropologis. Dengan demikian segi kosmologis dari pernyataan atau wahyu ilahi
kurang diperhatikan. Bultmann lupa bahwa makhlyuk Tuhan bukan cuma manusia,
melainkan ada juga makhluk-makhluk lain dan alam semesta. Begitu pula dengan
pernyataan Bultmann yang tidak memandang sejarah universal, yang akibatnya
melihat wahyu ilahi dari awal sampai akhir hanya sebagai satu titik, yaitu saat
sekarang ini.
Pemikiran Teologi
Rudolf bultman tentang Pandangannya terhadap Entmythologisierung
(Demythologizing atau Demitologisasi)., yang berarti bahwa mitologi (kumpulan
mitos-mitos) perlu dihilangkan (ent). Mitos adalah suatu cerita kuno, yang di
dalamnya pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tentang hal-hal yang pokok
tentang hidup dan mati, tentang Allah dan manusia dan lain-lain dipikirkan dan
diteruskan dalam bentuk cerita. Perjanjian Baru pada pokoknya terdiri dari
cerita-cerita semacam itu, dan dia juga menyesuaikan pada zamannya.
KESIMPULAN
Motivasi awal Bultmann dalam demitologisasinya sangat mulia
dan tidak bermaksud menghina Alkitab. Ia mau menjadikan firman Allah yang
ditulis pada zaman prailmiah dapat dimengerti oleh manusia modern sehinggga
sabda Allah dapat didengarkan. Namun akibat dari teologi Bultmann ini ternyata justru
menyerang Alkitab itu sendiri dari sisi ineransinya – demitologissasi
menganggap Alkitab penuh dengan mitos.
Demitologisasi Bultmann membangun suatu anggapan bahwa
selama kurang lebih 2000 tahun kekristenan telah dibangun dan berkembang di
atas dasar mitos-mitos Alkitab yang tidak dapat dipercaya sehingga akan membuat
siapapun menjadi skeptis tehadap kekristenan. Demitologisasi juga menyangkali
isi Alkitab yang sifatnya supranatural dan sebagai akibatnya adalah kebangkitan
Kristus (dianggap mitos) yang merupakan dasar iman Kristen ikut disangkali.
Sebagai puncaknya, yaitu demitologisasi menyangkali inerasni Alkitab. Alkitab
tidak lagi tidak mengandung kesalahan. Alkitab penuh dengan mitos-mitos yang
bukan fakta sejarah. Dan karena Alkitab penuh dengan mitos maka tentu Alkitab
bukan firman Allah melainkan hanya literatur agama kuno belaka yang berasal
dari jemaat mula-mula. Oleh karena demitologisasi tidak sejalan dengan ineransi
Alkitab tetapi justru menyerangnya maka ditinjau dari perspektif ortodoksi, teologi
Bultmann ini sulit untuk diterima. Teologi Bultmann merusak dasar iman Kristen.
Kesalahan dari demitologisasi adalah adanya praanggapan
bahwa Alkitab ditulis dalam nuansa mitologis. Praanggapan ini muncul karena
dilihat bahwa isi Alkitab berbeda (asing) sekali dengan konteks manusia modern.
Perbedaan itu ada karena Alkitab ditulis dalam konteks ‘dunia’ para penulis
yang tentu saja jauh berbeda dengan konteks dunia modern. Jadi perbedaan ini
adalalah wajar muncul. Tetapi dengan adanya perbedaan bukan berari isi Alkitab
mitos. Dengan demikian praanggapan dari demitologisasi tidak dapat diterima.
Kesalahan lain demitologisasi terletak pada metode penafsirannya. Dalam
mengupas mitos Alkitab, Bultmann menggunakan penafsiran eksistensial, yang
sifatnya tidak objektif melainkan subjektif, yang kebenarannya bergantung pada
perasaan penafsir semata. Dengan subjektifitas ini apakah demitologisasi masih
bisa dijadikan sebagai pegangan dalam menemukan pesan firman Allah? Tentu
tidak!
Maksud mulia Bultmann yang mau memberitakan Injil kepada
manusia modern sehingga membuatnya menempuh jalan demitologisasi memang patut
dihargai namun Bultmann lupa bahwa hanyalah pekerjaan Roh Allah saja yang mampu
menjamah hati manusia hingga manusia itu menerima Injil, bukan demitologisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abineno, J.I. CH. Rudolf Bultmann
dan Theologinya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1989
Conn, Harvei M. Teologi
Kontemporer: Malang: SAAT, 2000Lane, Tony Runtu Pijar: Sejarah Pemikiran
Kristiani: Jakarta: BPK-GM, 2001
Hadiwijoyo, Harun Teologi
Reformatoris Abad ke-20: Jakarta: BPK-GM, 1999
Lukito, Daniel Lucas, Pengantar
Teologi Kristen volume 1:Bandung: KH.
Ryrie, Charles C. Teologi
Dasar volume 1: Yogyakarta: Andi, 1991
Soedarmo, R. Ikhtisar
Dogmatika: Jakarta: BPK-GM, 2002
Susabda, Yakub B. Seri
Pengantara Teologi Modern volume 1: Jakarta: LRII, 1990
Thiessen, Henry C. Teologi
Sistematika: Malang: GM, 1995
Wellem, F.D. Riwayat
Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja: Jakarta: BPK-GM, 2000
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/hermeneutika-rudolf-karl-bultmann.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Rudolf_Bultmann
[1]
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/hermeneutika-rudolf-karl-bultmann.html
[3]
http://id.wikipedia.org/wiki/Rudolf_Bultmann
[4] F.D. Wellem, Riwayat
Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2000),
hal. 61.
[5] Tony Lane, Runtu
Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, (Jakarta: BPK-GM, 2001), hal. 237
[6] Harvei M. Conn, Teologi
Kontemporer, (Malang: SAAT, 2000), hal. 42-43.
[7] Yakub B.
Susabda, Seri Pengantara Teologi Modern volume 1, (Jakarta: LRII, 1990),
hal. 124-125.
[8] Harun
Hadiwijoyo, Teologi Reformatoris Abad ke-20, (Jakarta: BPK-GM, 1999),
hal. 70.
[9]
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/hermeneutika-rudolf-karl-bultmann.html
[10] Coon, ibid, hal.
50.
[11] Harvei M. Conn, Teologi
Kontemporer, (Malang: SAAT, 2000), hal. 49-52
[12] Hadiwijoyo, bid,
hal. 73.
[13] J.L.Ch. Abineno,
Rudolf Bultmann dan Teologianya, (Jakarta: BPK-GM, 1989), hal. 11.
[14] Coon, ibid, hal.
51.
[15] Brown, Colin. Philosophy
and Christian Faith…, hlm. 190-19
[16] Harun
Hadiwijono, Teologi Reformatoris…, hlm. 71
[17] Brown, Colin, Philosophy..,
hlm. 191.
[18] Henry C.
Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: GM, 1995), hal. 96-97
[20] R. Soedarmo, Ikhtisar
Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM, 2002), hal. 52.
[21] Ibid, hal. 73.
[22] Thiessen, ibid,
hal. 100
[23] Lukitao, ibid,
hal. 109
[24] Charles C.
Ryrie, Teologi Dasar volume 1, (Yogyakarta: Andi, 1991), hal. 108.
[25] Lukito, ibid,
hal. 109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar